oleh: Dr. Saiful Bahri, M.A

Rabu, 27 Oktober 2010

Katak Lompat


Sekelompok katak melintasi hutan. Mereka berjalan beriringan. Hop... hop... lompat... lompat... Begitu cara mereka berjalan. Tapi, plung! Tiba-tiba dua katak jatuh ke lubang yang dalam.
Semua bingung. Mereka berkumpul di pinggir lubang itu. Mereka melongok ke bawah. Betapa dalamnya lubang itu. Semua berpikir kedua katak itu pasti sudah mati. Namun mereka keliru. Terdengar suara dari bawah sana. Tolong... tolong... Ada teriakan minta tolong.
Tak ada yang dapat mereka lakukan. Lubang itu terlalu dalam bagi seekor katak. Mereka yang di pinggir lubang sudah kehilangan semangat. Mereka berseru, tak ada gunanya berusaha, sebab kecil kemungkinan bagi keduanya untuk selamat. Mereka mengatakan, setiap katak yang terjatuh ke dalam lubang itu pasti mati. Namun, kedua katak itu tidak menghiraukan mereka. Keduanya mencoba melompat dan terus melompat agar dapat mencapai bibir lubang. Mereka lakukan berbagai cara agar dapat keluar dari lubang tersebut.
Akan tetapi, semua katak yang di atas telah patah semangat. Mereka tetap menyarankan agar keduanya berhenti berusaha. Sebab, tak ada yang berhasil keluar dari lubang itu sebelumnya. "Hentikan perbuatan itu," teriak mereka. "Kalian hanya membuang tenaga dengan melompat-lompat seperti itu. Kalau tak mati kelaparan, kalian pasti akan mati kelelahan."
Akhirnya, salah satu dari dua katak itu yang menyerah. Katak ini berpendapat, ia pasti tak akan berhasil. Semua temannya pun berpendapat yang sama. Tak ada yang pernah selamat dari lubang ini. Begitu pikir sang katak pertama. Ia lalu melompat, terjatuh, dan akhirnya mati.
Namun, katak yang kedua tetap melanjutkan usahanya. Ia terus melompat dan melompat. Sekali lagi, kumpulan katak yang di atas berteriak agar ia menghentikan usahanya. Mereka terus memperingatkan sang katak ini. "Sudah..., sudahlah! Hentikan perbuatan bodoh itu. Jangan pernah berpikir untuk berhasil. Lubang ini terlalu dalam buat seekor katak sepertimu." Begitu teriak mereka bersama-sama.
Sang katak itu berusaha lebih keras dan lebih keras. Akhirnya ia berhasil. Sebuah lompatan tinggi membuatnya dapat mencapai pinggir lubang. Plop! sang katak sampai di atas kembali.
Sesampai di atas, teman-temannya berseru, "Hei, apakah kamu tidak mendengarkan kita semua!"
Katak itu malah berkata, "Sobat, terima kasih atas sorakan-sorakan itu."
Lho? Semuanya saling berpamdangan. Tapi, tak lama kemudian mereka mengerti. Katak kedua itu tuli! Ia menyangka teman-temannya bersorak menyemangatinya agar terus mencoba melompat.
Teman, kisah ini mengajarkan kita dua hal. Pertama, ada kekuatan antara hidup dan mati di sebuah ucapan. Kata-kata yang berisi semangat kepada seseorang yang sedang lara dan dirundung kemalangan akan dapat membuatnya nyaman. Kata-kata yang menyejukkan akan dapat membuatnya melewati hari-hari dengan lebih cerah.
Kedua, kata-kata yang memojokkan, tentang kemalangan, akan "membunuh" orang lain. Kata-kata itu hanya akan membuat orang yang sedang dilanda kesedihan, menjadi patah semangat.
Teman, berhati-hatilah pada setiap kata yang kita ucapkan. Kata-kata yng kita ucapkan sangat berpengaruh kepada orang lain. Kata-kata itu dapat membuat orang frustasi, pesimis, dan enggan berusaha. sangat sayang sendainya semua ucapan itu hanya akan merenggut jiwa-jiwa pantang menyerah yang sebenarnya ada di dalam raga.
Terpujilah mereka yang dapat membuat hidup orang lain lebih cerah, lebih nyaman, lebih indah, dan lebih menyenangkan. Karena, hidup itu indah.

Jembatan

Dua orang bersaudara tinggal di suatu ladang. Dulu mereka hidup nyaman, saling bantu, dan saling tolong. Namun, karena suatu masalah, kini mereka berselisih. Kasih sayang yang berlangsung selama hidup berdampingan sepuluh tahun sirna dalam sekejap. Awalnya hanya kesalahpahaman kecil. Lalu menjadi saling ejek dan saling maki, setelah tak bertegur sapa selama seminggu.
Pada suatu pagi si kakak kedatangan tamu. Rupanya seorang tukang kayu yang datang lengkap dengan kotak perkakasnya. "Saya mencari kerja. Apakah anda punya pekerjaan buat saya?" tanya si tukang kayu itu.
"Oya," kata si kakak. Saya punya satu pekerjaan untukmu. Coba lihat di sana, di ladang sebelah sana. Di sana tinggal tetangga saya. Ehmm, sebenarnya adik saya. Dua minggu lalu dia membuat masalah dengan saya. Sebelumnya di sana ada sebuah tanah lapang, tapi dia telah menguruk tanah itu dan kini ada sebuah lembah kecil di sana. Mungkin ia ingin membatasi tanahnya dengan lembah itu."
"Tapi," dia berkata lagi, "Saya bisa lakukan yang lebih baik daripada dia. Kamu lihat kumpulan kayu di lumbung itu? Saya ingin kamu membuat pagar. Dan ingat, tingginya harus sepuluh meter sehingga dia tak akan bisa melihat ladang saya lagi. Saya ingin memberinya pelajaran."
"Baiklah, saya bisa mengerti masalahnya," jawab si tukang kayu. "Sekarang, tunjukkan di mana palu dan paku supaya saya bisa mulai bekerja. Saya akan membuat anda senang dengan pekerjaan saya ini."
Sang kakak menunjukkan tempat perkakas miliknya, lalu pergi ke kota untuk membeli beberapa barang sehari-hari. Ia juga berpesan kepada si tukang kayu untuk menyelesaikan tugasnya itu dalam seminggu. Jadi, selesai tepat saat ia kembali dari kota.
Tibalah saat itu. Matahari hampir tenggelam ketika sang kakak tiba dari kota. Ia langsung menuju "perbatasan" ladang itu. Matanya terbelalak. Betapa kagetnya ia, sebab di sana tidak dilihatnya pagar. Yang ada justru sebuah jembatan yang menghubungkan ladangnya dengan ladang adiknya.
Di ujung yang lainnya, sang adik ternyata telah berdiri dan melambai-lambaikan tangan. Dalam temaram senja kedua kakak beradik itu bertemu di tengah jembatan.
Sang adik berkata, "Kak, engkau begitu baik telah membuatkan satu jembatan buat kita berdua. Padahal aku yang memulai segalanya. Aku yang membuat lembah ini sebagai batas di antara kita. Engkau begitu baik, walaupun atas segala yang aku ucapkan dan telah kuperbuat."
Sang kakak tak menyangka seperti ini kejadiannya. Sebenarnya ia ingin juga membuat batas di antara mereka. Kedua tangan kaka beradik itu lalu terbuka dan saling berpelukan.
Di tempat yang agak jauh si tukang kayu menyaksikan adegan itu. Kemudian memanggung perkakasnya. Bersiap pergi. Tapi, ekor mata si kakak segera menangkapnya. "Heii... tunggu! Jangan pergi! Aku punya pekerjaan lain untukmu," teriak si kakak memanggil si tukang kayu.
"Saya ingin sekali berada di sini merasakan kebahagiaan kalian," kata si tukang kayu. "Tapi, masih banyak jembatan lagi yang harus kubangun. Terima kasih."
Teman, jembatan antarmanusia adalah cinta dan kasih sayang. Dalam cinta kita akan menemukan saling pengertian, pengharapan, welas asih, perhatian, peneguhan, dukungan, semangat, dan banyak hal lainnya.
Jika tak bisa menemukan cara untuk memberikan kasih sayang kepada banyak orang, setidaknya kita punya cara untuk mengingat bahwa kita telah lakukan yang terbaik. Sesungguhnya yang kita butuhkan hanyalah sedikit sentuhan bahwa sebenarnya kita adalah satu dan keinginan yang sama: dicintai dan mencintai.

Istana Pasir

Pagi mulai beranjak siang saat pak tua kedatangan anaknya dari kota. Di tangan kirinya masih tersampir jala yang sedang diperbaiki. Tangan kanannya masih sibuk menelisik jelujur benang nilon, menyusuri sisi-sisi yang koyak dari jala miliknya. Sinar matahari pantai yang datang sedikit terhalang lelaki yang tegak berdiri. Wajah pak tua itu pun menengadah, memandang sorot lelah dari kedua mata anaknya. "Ada apa?" tanyanya pelan.
"Hidupku suram, ayah." Mata si anak nanar. "Usahaku baru saja gagal, dan keluargaku tak lagi membuatku bahagia." Sang ayah mengerti situasi semacam ini. Segera diletakannya jala dan kelosan benag. "Bagaimana kalau kita berjalan-jalan di pantai? Sang ayah berusaha tersenyum, "Sudahlah, matahari pantai pasti akan membuatmu cerah." Lelaki itu menurut. Wajahnya menoleh ke samping saat sang ayah menepuk-nepuk punggung. Ia juga berusaha tersenyum.
Pantai mulai ramai saat mereka mulai berjalan. Anak-anak bermain dengan sekop dan ember, membentuk istana-istana pasir dengan tangan mereka. Wajah-wajah yang ceria, membuat mereka tampak lebih lucu. Di sebelah kanan, ada pekik gembira dari anak lainnya yang berkejaran menantang ombak. Mereka meloncat-loncat berusaha menghindari buih yang datang dengan tiba-tiba. Kaki-kaki kecil itu membentuk tapak-tapak yang berbaris di atas pasir pantai. Matahari yang mulai terik tak lagi dihiraukan. Anak-anak itu tetap larut dengan kebahagiaan masa kecil yang hadir seakan tak akan berakhir.
Pasangan ayah dan anak itupun memperhatikan semuanya. Mata mereka tak lepas dari pemandangan yang ada di sana. Namun, sang anak tetap hadir dengan tatapan yang kosong. Sang ayah paham, ia lalu membuka suara. "Ingatkah kamu saat masih kecil dulu? Pertanyaan itu dijawab pelan, "Ya ayah. Kenapa?" Tangan ayah mengajak mereka menuju sebuah pohon nyiur. Kemudian, duduklah mereka di atas sebuah pelepah kering yang ada di sana. "Ya, tentu kamu masih ingat. Seperti anak-anak itulah kamu saat itu. Riang, gembira, dan bahagia. Tak peduli kulitmu menghitam, dan badanmu menggigil kedinginan. Kamu tetap berlari bersama ombak dan membuat istana-istana pasir."
"Cobalah, simak mereka lebih dekat. Lihat sekeliling kita." Keduanya menerawang. "Apakah udara yang kita hirup ini berbeda dengan yang dihirup oleh anak-anak itu? Apakah sinar matahari yang terkena di kulit kita ini tak sama dengan yang menimpa tubuh mereka? Tapi mengapa engkau begitu murung, sedangkan mereka tidak? Mengapa mereka bisa berwajah cerah sedangkan kamu tidak? Ya. kita hidup pada matahari yang sama, udara yang sama, dan pasir yang sama, tapi mengapa ada yang bisa memandangnya dalam situasi yang berbeda.
"Lihatlah mereka. Lihat istana-istana pasir yang mereka buat. Bukankah buih-buih itu selalu melenyapkan istana-istana itu? Bukankah menara-menara pasir itu selalu tumbang dihantam ombak? Bukankah air laut selalu datang merusakkan segalanya? Tapi, apakah mereka berhenti mengayuhkan tangan untuk membangunnya kembali? Tidak. Apakah mereka menyerah untuk menyusunnya kembali? Tidak. Anak-anak itu pasti akan kembali mengumpulkan pasir dan membentuknya menjadi bangunan baru. Mereka akan terus menata, menyusun, dan mendirikan istana-istana yang baru, dan bangunan-bangunan yang baru." Air muka sang anak mulai cerah. Ayah melanjutkan, "Ayolah, kembalikan ingatan masa kecilmu. Buat kembali istana-istana dan menara-menaramu kembali..."
Mereka tersenyum. Mereka mulai menyusuri pantai kembali. Mereka mungkin tak lagi muda, tapi lihatlah, keduanya kini berkejaran bersanding dengan ombak. Langkah kaki keduanya beriringan dengan cepat, saling ingin mengalahkan. Ah, tubuh tua itu kalah sigap. Tubuhnya kini mulai bergerak ke atas, dan digendong anak lelakinya dari belakang. Keduanya tertawa lepas, dan terjatuh bersama. Tubuh mereka basah dengan air laut, wajah dan kaki mereka penuh dengan pasir. Buih-buih terlihat seperti perak yang terhampar. Keduanya tampak seperti anak-anak kecil yang ada di sana. Mereka tampak bahagia.

***
Teman, bukankah kita punya banyak persamaan? Ya, kita menjejak pada bumi yang satu, bernaung pada langit yang sama, menghirup udara yang sama, dan meneguk air yang sama. Tapi, mengapa ada orang yang melihatnya dalam situasi yang berlainan. Mengapa ada orang-orang yang bahagia, bersandingan dengan orang yang muram, mengapa ada orang yang gembira, beriringan dengan orang yang sedih hatinya?
Saya tidak sedang membuat suatu generalisasi pada semua hal. Namun, tidakkah kita bisa mengambil sesuatu dari sana? Ada kenyataan bahwa terkadang suatu hal dipandang baik atau buruk, bukan karena penampakannya. Tapi, kita menciptakan sesuatu itu baik atau buruk, bahagia atau tidak bahagia dari pikiran kita sendiri. Pikiran kita sendirilah yang kadang mencuri bahagia yang Allah berikan. Benak kita sendirilah yang kerap menyorongkan kesedihan yang berlarut.
Saya sering merasa iri kepada anak-anak yang menyusun istana pasir di pinggir pantai. Mereka tak pernah lelah. Mereka tak pernah berhenti mencipta. Tawa mereka selalu merekah, binar mata mereka tak pernah hilang dari wajah. Buih, terik matahari, ombak dan air laut tak pernah dihiraukan. Semua itu tak akan membuat mereka jera untuk membuat istana pasir. Mereka baru berhenti saat senja menjelang, atau saat orangtua mereka memanggil. Tidakkah kita bisa mengambil sesuatu dari sana?
Teman, bangkitkanlah ingatan masa kecil, saat kita merasa sedih. Jadilah mereka yang selalu optimis memandang hidup, yang selalu memenuhi hari-hari dengan rasa bahagia. Jadilah mereka yang bisa tersenyum gembira, bermain bersama buih, berkejaran bersama ombak, bercengkrama bersama hewan-hewan kecil dan daun-daun. Tidakkah kita bisa mengambil sesuatu dari sana?

Indian Muda

Suatu ketika seorang indian muda mendatangi tenda ayahnya. Di dalam sana, duduk seorang tua dengan pipa panjang yang mengepulkan asap. matanya terpejam, tampak sedang bersemadi. Hening.
"Ayah, bolehkah aku ikut berburu besok pagi?" tanya indian muda itu memecahkan kesunyian di sana. Mata sang ayah membuka perlahan, sorot matanya tajam, memandang ke arah anak yang paling disayanginya itu. Kepala suku itu hanya diam.
"Ya ayah, bolehkan aku ikut berburu besok? Lihat, aku sudah mengasah pisauku. Kini semuanya tajam dan berkilat." Tangan si kecil merogoh sesuatu dari balik kantung kulitnya. Sang ayah masih diam mendengarkan. "Aku juga sudah membuat panah-panah untuk bekalku berburu. Ini, lihatlah ayah, semuanya pasti tajam. Busurku pun telah kurentangkan agar lentur. Pasti aku akan menjadi indian pemberani yang hebat seperti ayah. Ijinkan aku ikut ayah." rengek si kecil.
Suasana masih tetap senyap. Keduanya saling pandang. Terdengar suara berat sang ayah, "Apakah kamu sudah berani untuk berburu? Ya!" segera saja terdengar jawaban singkat dari si kecil. "Dengan pisau dan panahku, aku akan menjadi yang paling hebat." Sang ayah tersenyum, "Baiklah, kamu boleh ikut besok, tapi ingat, kamu harus berjalan di depan pasukan kita. Mengerti?" Sang indian muda mengangguk.
Keesokan hari, pasukan indian telah siap di pinggir hutan. Kepala suku, dan indian muda, berdiri paling depan. "Hari ini anakku yang akan memimpin perburuan kita. Biarkan dia berjalan di depan."
Indian muda itu tampak gagah. Ada beebrapa pisau yang terselip di pinggang. Panah dan busur, tampak melintang penuh di punggungnya. Ini adalah perburuan pertamanya. Si kecil berteriak nyaring, "Ayo kita berangkat!"
Mereka mulai memasuki hutan. Pohon-pohon semakin rapat dan semakin tinggi. Sinar matahari pun tak leluasa menyinari lebatnya hutan. Mulai terdengar suara-suara dari binatang yang ada di sana. Indian kecil yang tadi melangkah dengan gagah, mulai berjalan hati-hati. Parasnya cemas dan takut. Wajahnya sesekali menengok ke belakang, ke arah sang ayah. Linglung dan ngeri. Tiba-tiba terdengar beberapa suara harimau mengaum. "Ayah..!!" teriak si kecil. Tangannya menutup wajah dan ia berusaha lari ke belakang. Sang ayah tersenyum melihat kelakukan anaknya, begitupun indian lainnya.
"Kenapa? Kamu takut? Apakah pisau dan panahmu telah tumpul? Mana keberanian yang kamu perlihatkan kemarin?" Indian muda itu terdiam. "Bukankah kamu bilang, pisau dan panahmu dapat membuatmu berani? Kenapa kamu takut sekarang? Lihat nak, keberanian itu bukan berasal dari apa yang kamu miliki. Tapi, keberanian itu datang dari sini, dari jiwamu, dari dalam dadamu." Tangan kepala suku menunjuk dada si kecil.
"Kalau kamu masih mau jadi indian pemberani, teruskan langkahmu. Tapi jika, di dalam dirimu masih ada jiwa penakut, ikuti langkah kakiku." Indian muda itu masih terdiam. "Setajam apapun pisau dan panah yang kau punya, tak akan membuatmu berani kalau jiwamu masih penakut. Sekuat apapun busur yang telah kau rentangkan, tak akan membuatmu gagah jika jiwa pengecut lebih menguasai dirimu."
"...Auummmm." Tiba-tiba terdengar suara harimau yang mengaum kembali. Indian muda kembali pucat. Ia memilih untuk berjalan di belakang sang ayah.
***
Apakah itu keberanian? Keberanian bukanlah rasa yang dimiliki oleh orang yang menganggap dirinya memiliki segalanya. Keberanian juga bukan rasa yang berasal dari sifat-sifat sombong dan takabur. Keberanian adalah jiwa yang berasal dari dalam hati, dan bukan dari materi yang kita miliki. Keberanian adalah sesuatu yang tersembunyi yang membuat orang tak pernah gentar walau apapun yang ia hadapi.
Saya percaya, keberanian bukan berasal dari apa yang kita sandang atau kita miliki. Keberanian bukan datang dari apa yang kita pamerkan atau yang kita punyai. Teman, keberanian datang dari dalam diri, dari dalam dada kita sendiri. Keberanian adalah sesuatu yang melingkupi perasaan kita, dan menjadi bekal dalam setiap langkah yang kita ayunkan.
Teman, mungkin saat ini kita diberikan banyak kemudahan yang membuat kita merasa cukup berani dalam menjalani hidup. Kita mungkin dititipkan kelebihan-kelebihan dan membuat kita takabur bahwa semua masalah akan mampu dihadapi. Mungkin saat ini kita kaya, rupawan, berpendidikan tinggi, dan berkedudukan bagus, tapi apakah itu bisa menjadi jaminan bahwa kita akan selamanya dapat menjalani hidup ini? Apakah itu akan selamanya cukup untuk menjadi bekal kita dalam "perburuan" hidup ini?
Jadilah indian muda yang tetap melangkah dengan jiwa pemberani yang hadir dari dalam hati dan BUKAN dari pisau dan panah yang telah diasah. Jadilah indian muda yang tak pernah gentar mendengar suara harimau, sekeras apapun suara itu terdengar. Jadilah indian muda yang tetap yakin dengan pilihan keberanian yang ia putuskan. Jangan gentar, jangan surut untuk melangkah.

Selasa, 26 Oktober 2010

Dua Kisah

Teman, aku punya dua buah kisah yang mungkin menarik untukmu. Ini kisah yang pertama.
Ada seorang tua yang bijak. Suatu pagi ia kedatangan anak muda. Langkahnya gontai. Air mukanya ruwet. Ia seperti sedang dirundung masalah. Anak muda itu menumpahkan semua masalahnya. Pak tua yang bijak mendengarkan dengan seksama. Setelah tamunya tuntas bercerita, tiba-tiba orang tua itu mengambil segenggam garam dan meminta tamunya untuk mengambil segelas air. Ditaburkannya garam itu ke dalam gelas. Diaduknya perlahan.

Dua Ekor Singa

Suatu sore di tengah telaga terlihat dua orang sedang memancing. Tampaknya mereka ayah dan anak yang sedang menghabiskan waktu bersama. Di atas perahu kecil, keduanya sibuk mengatur joran dan umpan. Air telaga bergoyang perlahan membentuk riak. Gelombangnya mengalun menuju tepian, menyentuh sayap-sayap angsa yang sedang berjalan beriringan. Suasana begitu tenang hingga terdengar sebuah percakapan.

Daun

Seorang pemuda duduk sendiri di sebuah taman. Di pangkuannya terhampar sebuah buku yang masih terbuka. Di sebelah kanannya, sisa makanan berhimpit dengan botol minuman. Hari itu adalah awal musim gugur di tahun ini. Tak heran banyak sekali daun berjatuhan. Terserak. Begitupun di bangku tempat pemuda itu duduk.
Sang pemuda masih menikmati sore itu dengan membaca.

Cangkir yang Cantik


Sepasang kakek dan nenek pergi belanja ke sebuah toko suvenir untuk mencari hadiah buat cucu mereka. Kemudian mata mereka tertuju kepada sebuah cangkir yang cantik. "Lihat cangkir itu," kata si nenek kepada suaminya. "Kau benar, itu cangkir tercantik yang pernah aku lihat." ujar si kakek.

Burung Pipit

Di sebuah taman tinggallah keluarga burung pipit. Mereka bersarang di sebuah pohon yang rindang, di pucuk dekat dahan yang terjulur ke tengah kolam. Ada seekor pipit kecil yang tinggal di sana, sementara kedua induknya terbang bolak-balik untuk mencari makan. Kadang kedua sejoli itu membawa ranting kering untuk penghangat pipit yang baru menetas itu.

Batu Pualam


Suatu ketika ada seorang wanita bijak mendaki gunung. Tanpa disengaja ia menemukan sebongkah batu yang sangat berharga. "Pualam yang indah tentu mahal harganya," ujarnya. Dia lalu menyimpan batu itu di tempat makanannya.
Tak lama berselang, ia bertemu dengan seorang pendaki lain yang sedang kelaparan.

Api dan Asap


Suatu ketika ada kapal tenggelam akibat diterjang badai. Tak ada penumpangnya yang tersisa. Kecuali, ada satu orang yang berhasil mendapatkan pelampung. Namun, nasib baik belum seutuhnya berpihak kepada pria itu. Dia terdampar ke sebuah pulau kecil tak berpenghuni. Sendiri. Tanpa bekal makanan.

Jumat, 22 Oktober 2010

Apa itu indah ?


Sering kali kita mendengar kata-kata indah, atau melihat pemandangan indah, bahkan tulisan-tulisan indah. Tak jarang pula wajah-wajah indah dengan senyuman manis sering kali menghiasi pikiran-pikiran kita. Namun mampukah kita mendeskripsikan secara detail arti indah itu??, ya, tentu anda sangat pandai mendeskripsikan kata indah itu, dan semua akan mendeskripsikan dengan hal yang berbeda-beda. Bahkan ada sejuta makan yang akan terungkap dalam kata "indah" itu.
Saya ingin anda coba menuliskan arti 'indah' menurut anda sendiri, ya tuliskan dalam kertas makna indah menurut anda. Jika sudah bacalah tulisan anda tadi,. Subhanallah...seperti saya bilang tadi mungkin anda, saya, teman anda, bahkan semua orang yang menuliskan arti 'indah' ini akan berbeda-beda. Lalu sadarkah anda dari mana kita dapat mendeskripsikan kalimat indah itu ??, mungkin akan ada jawaban yang berbeda-beda pula.
Namun saya hanya mengajak anda untuk terus berpikir indah, seindah kalimat yang telah anda tuliskan tadi. Apakah anda pernah di ajarkan untuk mendeskripsikan kata 'indah'?, mungkin sebagian dari kita pernah membaca, mendengar, atau mungkin melihat di televisi arti indah menurut para ahli....tapi saya yakin anda lebih sepakat menuliskan arti indah itu menurut versi anda sendiri. Karena sebuah keindahan itu anda yang mersakan, anda yang melihat dan perasaan anda lah yang barusan mendeskripsikan arti indah itu.
Sebenarnya keindahan itu selalu dekat dengan diri kita, namun terkadang kita yang tidak menyadari. Keindahan selalu lewat dalam diri kita namun kita membiarkan saja hanya terlintas dalam pikiran kita. Namun jika keburukan hadir dalam pikiran kita seringkali kita menahan bahkan seakan keburukan itu tak mau pergi dalam pikiran kita. Mari kita renungkan lebih banyak mana kebahagian yang sering kita rasakan atau keburukan yang kita rasakan....Maka anda akan menemukan kebahagian yang begitu indah dalam diri anda dan lupakan segala kesedihan yang akan membuat buruk kehidupan anda.
(Gunaryo Abdullah)