Sang pemuda masih menikmati sore itu dengan membaca. Tangannya membolak-balik halaman buku. Setiap kali selesai membaca beberapa paragraf, matanya tak lepas dari urutan kata buku. Menelusuri setiap kalimat yang tersusun di sana. Tak ada rasa terganggu dengan daun-daun yang sesekali jatuh menimpanya. Sementara di kejauhan, ada beberapa anak kecil berlari. Mereka bermain, menikmati matahari sore yang indah itu.
Srekk.. srekk. Terdengar langkah. Pemuda itu menoleh. Srekk.. srekk.. srekk. Terdengar lagi langkah kaki bergesekan dengan daun-daun. Seorang ibu tua sedang memunguti daun-daun. Tangan kirinya menggenggam kantung kain. Isinya daun-daun kering.
Pemuda itu tertegun. Heran.
"Ibu sedang apa?"
"Aku sedang mengumpulkan daun."
Mata tuanya terus menjelajah, mengamati hamparan daun di taman itu.
"Aku sedang mencari daun-daun terbaik untuk kujalin menjadi mainan buat anak-anak di sana."
Satu dua daun dimasukkan ke kantung kain. Pemuda itu beringsut. Buku di depannya diletakkan. Ia kembali bertanya, "Sejak kapan ibu melakukannya?"
"Setiap musim gugur aku lakukan ini untuk anak-anak. Akan kubuatkan selempang dan mahkota daun buat mereka. Jika aku dapat banyak daun, akan kubuatkan pula selubung-selubung ikat pinggang. Ah, mereka pasti senang." Mata tua itu berbinar. Syal di lehernya berjuntai di bahu. Tangannya kembali memasukkan beberapa daun.
"Tapi, bu, sampai kapan ibu lakukan ini? Anak-anak itu pasti akan membuat semuanya rusak setiap kali mereka selesai bermain. Tapi, itu semua tak akan membuatku berhenti," Ibu tua itu menarik nafas. Syal di lehernya makin dipererat.
"Masih ada ribuan daun yang harus kupungut di sini. Masih ada beberapa kelok jalan lagi yang harus kutempuh. Waktuku mungkin tak cukup untuk mengambil semua daun di sini. Tapi, aku tak akan berhenti."
"Akankah aku berhenti dari kebahagiaan yang telah kutemukan? Akankah aku berhenti memandang kegembiraan dan binar-binar mata anak-anak itu? Akankah aku menyerah dari kedamaian yang telah aku rasakan setiap musim gugur itu?" tanyanya retoris.
"Tidak, nak! Aku tidak akan berhenti berusaha untuk kebahagiaan itu. Aku tidak akan berhenti hanya karena koyaknya mahkota daun atau ribuan daun lain yang harus kupungut."
Tangan tua itu kembali memungut sepotong daun. Lalu, dengan suara pelan, ia berbisik, "Ingat nak, jangan berhenti. Jangan pernah berhenti untuk berusaha." Larik-larik senja telah muncul, menerobos sela-sela pohon, membentuk sinar-sinar panjang, dan berpendar pada tubuh ibu tua itu.
Teman, adakah kita pernah merasa ingin berhenti dari hidup ini? Adakah kita pernah merasa gagal? Adakah kita berpikir untuk tak mau melanjutkan impian-impian kita? Saya percaya, ada banyak dari kita yang pernah mengalaminya. Ada banyak dari kita yang mungkin berpikir untuk menyerah karena begitu banyaknya tantangan yang harus kita hadapi.
Namun, apakah kita harus berhenti berusaha ketika melihat "mahkota-mahkota daun" impian kita koyak? Haruskah kita berhenti saat "selempang daun" harapan yang kita sandang putus? Akankah kita menyerah saat "rangkaian daun" kebahagiaan kita tak berbentuk? Saya percaya, ada banyak pilihan untuk itu. Beragam pilihan akan muncul di kepala kita saat kenyataan pahit ada di depan kita.
Lalu, akankah kita surut melangkah, saat kita melihat ada ribuan "daun tantangan" yang harus kita pungut? Akankah kaki kita menyerah ketika kita bertemu dengan hamparan "daun ujian" di depan kita? Agaknya, kita harus ingat perkataan ibu tua itu, "Jangan pernah berhenti untuk berusaha. Jangan pernah menyerah untuk kebahagiaan yang akan kita raih."
Teman, ibu tua itu benar. Kita mungkin tak akan mampu meraih semua daun-daun kebahagiaan itu. Mahkota, selempang, dan selubung ikat pinggang daun itu akan koyak. Tapi, janganlah itu membuat kita berhenti melangkah. Masih ada berjuta daun-daun harapan lain yang masih dapat kita pungut. Di depan sana, masih terhampar berjuta daun impian lain yang memberikan kita beragam pilihan. Mungkin jalan di depan kita masih berkelok, masih panjang, namun daun-daun itu ada di sana. Berjuta daun kebahagiaan lain masih menunggu untuk kita rajut, jalin, anyam, dan susun. Jangan menyerah. Jangan pernah menyerah, karena Allah selalu bersama hambanya yang sabar.
Srekk.. srekk. Terdengar langkah. Pemuda itu menoleh. Srekk.. srekk.. srekk. Terdengar lagi langkah kaki bergesekan dengan daun-daun. Seorang ibu tua sedang memunguti daun-daun. Tangan kirinya menggenggam kantung kain. Isinya daun-daun kering.
Pemuda itu tertegun. Heran.
"Ibu sedang apa?"
"Aku sedang mengumpulkan daun."
Mata tuanya terus menjelajah, mengamati hamparan daun di taman itu.
"Aku sedang mencari daun-daun terbaik untuk kujalin menjadi mainan buat anak-anak di sana."
Satu dua daun dimasukkan ke kantung kain. Pemuda itu beringsut. Buku di depannya diletakkan. Ia kembali bertanya, "Sejak kapan ibu melakukannya?"
"Setiap musim gugur aku lakukan ini untuk anak-anak. Akan kubuatkan selempang dan mahkota daun buat mereka. Jika aku dapat banyak daun, akan kubuatkan pula selubung-selubung ikat pinggang. Ah, mereka pasti senang." Mata tua itu berbinar. Syal di lehernya berjuntai di bahu. Tangannya kembali memasukkan beberapa daun.
"Tapi, bu, sampai kapan ibu lakukan ini? Anak-anak itu pasti akan membuat semuanya rusak setiap kali mereka selesai bermain. Tapi, itu semua tak akan membuatku berhenti," Ibu tua itu menarik nafas. Syal di lehernya makin dipererat.
"Masih ada ribuan daun yang harus kupungut di sini. Masih ada beberapa kelok jalan lagi yang harus kutempuh. Waktuku mungkin tak cukup untuk mengambil semua daun di sini. Tapi, aku tak akan berhenti."
"Akankah aku berhenti dari kebahagiaan yang telah kutemukan? Akankah aku berhenti memandang kegembiraan dan binar-binar mata anak-anak itu? Akankah aku menyerah dari kedamaian yang telah aku rasakan setiap musim gugur itu?" tanyanya retoris.
"Tidak, nak! Aku tidak akan berhenti berusaha untuk kebahagiaan itu. Aku tidak akan berhenti hanya karena koyaknya mahkota daun atau ribuan daun lain yang harus kupungut."
Tangan tua itu kembali memungut sepotong daun. Lalu, dengan suara pelan, ia berbisik, "Ingat nak, jangan berhenti. Jangan pernah berhenti untuk berusaha." Larik-larik senja telah muncul, menerobos sela-sela pohon, membentuk sinar-sinar panjang, dan berpendar pada tubuh ibu tua itu.
Teman, adakah kita pernah merasa ingin berhenti dari hidup ini? Adakah kita pernah merasa gagal? Adakah kita berpikir untuk tak mau melanjutkan impian-impian kita? Saya percaya, ada banyak dari kita yang pernah mengalaminya. Ada banyak dari kita yang mungkin berpikir untuk menyerah karena begitu banyaknya tantangan yang harus kita hadapi.
Namun, apakah kita harus berhenti berusaha ketika melihat "mahkota-mahkota daun" impian kita koyak? Haruskah kita berhenti saat "selempang daun" harapan yang kita sandang putus? Akankah kita menyerah saat "rangkaian daun" kebahagiaan kita tak berbentuk? Saya percaya, ada banyak pilihan untuk itu. Beragam pilihan akan muncul di kepala kita saat kenyataan pahit ada di depan kita.
Lalu, akankah kita surut melangkah, saat kita melihat ada ribuan "daun tantangan" yang harus kita pungut? Akankah kaki kita menyerah ketika kita bertemu dengan hamparan "daun ujian" di depan kita? Agaknya, kita harus ingat perkataan ibu tua itu, "Jangan pernah berhenti untuk berusaha. Jangan pernah menyerah untuk kebahagiaan yang akan kita raih."
Teman, ibu tua itu benar. Kita mungkin tak akan mampu meraih semua daun-daun kebahagiaan itu. Mahkota, selempang, dan selubung ikat pinggang daun itu akan koyak. Tapi, janganlah itu membuat kita berhenti melangkah. Masih ada berjuta daun-daun harapan lain yang masih dapat kita pungut. Di depan sana, masih terhampar berjuta daun impian lain yang memberikan kita beragam pilihan. Mungkin jalan di depan kita masih berkelok, masih panjang, namun daun-daun itu ada di sana. Berjuta daun kebahagiaan lain masih menunggu untuk kita rajut, jalin, anyam, dan susun. Jangan menyerah. Jangan pernah menyerah, karena Allah selalu bersama hambanya yang sabar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tolong isi komentar ya...!