Suatu ketika ada seorang wanita bijak mendaki gunung. Tanpa disengaja ia menemukan sebongkah batu yang sangat berharga. "Pualam yang indah tentu mahal harganya," ujarnya. Dia lalu menyimpan batu itu di tempat makanannya.
Tak lama berselang, ia bertemu dengan seorang pendaki lain yang sedang kelaparan. Sang wanita membuka kotak makanannya dan membagi bekal tersebut. Si pendaki yang lapar itu melihat batu pualam. Ia bertanya, apakah ia dapat memiliki pualam indah itu. Sang wanita mengangguk dan memberikan pualam itu tanpa ragu.
Sang pendaki tentu senang sekali dengan pemberian ini. Dia bersorak dalam hati dan membayangkan pualam itu akan membuat hidupnya terjamin. Dia pasti tak perlu bersusah payah bekerja dan dapat kaya dengan menjual pualam itu. Dia lalu minta ijin untuk pergi dan melupakan lapar yang dirasakannya.
Namun, beberapa saat kemudian sang pendaki kembali lagi kepada wanita tadi. Dia berkata, "Aku berpikir pualam ini pasti sangat berharga. Namun akan kukembalikan, sebab aku berharap kamu dapat memberikan sesuatu yang lebih berharga. Agaknya, aku lebih memerlukan sepotong roti daripada batu ini. Dan, aku ingin tahu satu hal. Tolong ajari aku bagaimana anda dapat memberikan batu yang sangat berharga ini kepadaku tanpa ragu."
Teman, bisa jadi, tak ada beda antara kita dan si pendaki tadi. Kita kerap melupakan banyak hal untuk sebuah alasan sesaat. Tak jarang kita lebih mengutamakan ketamakan dan nafsu untuk sebuah masa depan. Seringkali, kita terpesona dengan kemilau "pualam" dan mahalnya "intan", namun melupakan "sepotong roti" dan kebijaksanaan si wanita tadi. Kita yang bodoh ini sering mengambil langkah dengan terburu-buru tanpa perhitungan, tanpa memandang jauh ke depan. Yang ada di depan mata hanyalah keuntungan seketika yang akan kita dapat.
Kita jarang untuk bersedekah, padahal harta itulah yang akan menolong kita kelak. Kita jarang untuk berbuat baik, padahal kita sama-sama tahu akan ada imbalan dari-Nya nanti. Kita jarang menolong teman dan tetangga dekat, padahal merekalah yang bisa kita minta bantuannya di kala susah. Kita jarang menanam bibit dan benih kebaikan, padahal rindangnya pohon kebajikan itulah yang akan melindungi kita dari terik dan hujan nestapa.
Sama halnya dengan pendaki tadi, kita memerlukan lebih dari sepotong roti untuk dapat bertahan hidup. Kita butuhkan lebih dari itu. Kita butuhkan kebijaksanaan dan kemurahan hati wanita tadi untuk dapat memberikan kebaikan pada setiap orang yang ditemuinya. Dan saya yakin, kita bisa mendapatkannya dalam hidup ini. Allah akan memberi cahaya buat kita. Nah, teman, selamat berbagi.
Tak lama berselang, ia bertemu dengan seorang pendaki lain yang sedang kelaparan. Sang wanita membuka kotak makanannya dan membagi bekal tersebut. Si pendaki yang lapar itu melihat batu pualam. Ia bertanya, apakah ia dapat memiliki pualam indah itu. Sang wanita mengangguk dan memberikan pualam itu tanpa ragu.
Sang pendaki tentu senang sekali dengan pemberian ini. Dia bersorak dalam hati dan membayangkan pualam itu akan membuat hidupnya terjamin. Dia pasti tak perlu bersusah payah bekerja dan dapat kaya dengan menjual pualam itu. Dia lalu minta ijin untuk pergi dan melupakan lapar yang dirasakannya.
Namun, beberapa saat kemudian sang pendaki kembali lagi kepada wanita tadi. Dia berkata, "Aku berpikir pualam ini pasti sangat berharga. Namun akan kukembalikan, sebab aku berharap kamu dapat memberikan sesuatu yang lebih berharga. Agaknya, aku lebih memerlukan sepotong roti daripada batu ini. Dan, aku ingin tahu satu hal. Tolong ajari aku bagaimana anda dapat memberikan batu yang sangat berharga ini kepadaku tanpa ragu."
Teman, bisa jadi, tak ada beda antara kita dan si pendaki tadi. Kita kerap melupakan banyak hal untuk sebuah alasan sesaat. Tak jarang kita lebih mengutamakan ketamakan dan nafsu untuk sebuah masa depan. Seringkali, kita terpesona dengan kemilau "pualam" dan mahalnya "intan", namun melupakan "sepotong roti" dan kebijaksanaan si wanita tadi. Kita yang bodoh ini sering mengambil langkah dengan terburu-buru tanpa perhitungan, tanpa memandang jauh ke depan. Yang ada di depan mata hanyalah keuntungan seketika yang akan kita dapat.
Kita jarang untuk bersedekah, padahal harta itulah yang akan menolong kita kelak. Kita jarang untuk berbuat baik, padahal kita sama-sama tahu akan ada imbalan dari-Nya nanti. Kita jarang menolong teman dan tetangga dekat, padahal merekalah yang bisa kita minta bantuannya di kala susah. Kita jarang menanam bibit dan benih kebaikan, padahal rindangnya pohon kebajikan itulah yang akan melindungi kita dari terik dan hujan nestapa.
Sama halnya dengan pendaki tadi, kita memerlukan lebih dari sepotong roti untuk dapat bertahan hidup. Kita butuhkan lebih dari itu. Kita butuhkan kebijaksanaan dan kemurahan hati wanita tadi untuk dapat memberikan kebaikan pada setiap orang yang ditemuinya. Dan saya yakin, kita bisa mendapatkannya dalam hidup ini. Allah akan memberi cahaya buat kita. Nah, teman, selamat berbagi.